Sedikit Membenci Kehidupan Desa, atau Aku yang Ga Capable ?

Teras Puan
3 min readFeb 10, 2021

--

Photo by Akhila Katuri on Unsplash

Hai, kenalin aku Teras Puan. Umurku 23 tahun. Aku berasal dari salah satu desa kecil di Jawa Timur. Aku baru saja menyandang gelar fresh graduate*, artinya aku adalah sosok manusia yang seharusnya dapat berkontribusi lebih di masyarakat tempatku tinggal. Tapi, apa yang kulakukan saat ini?. Seperti biasa, pagiku diawali dengan beberes rumah dan rentetan pekerjaan rumah lainnya yang harus segera diselesikan agar aku bisa berada di waktuku “Waktu Sendirian”. Lebih tepatnya waktu sendirian bagian overthinking. Aku banyak sekali menghabiskan waktuku untuk berpikir sebenarnya aku bisa apa dan apa mauku, merapikan kamarku tiap berantakan, dan membaca sesuatu yang memberi semangat. Tapi, pekerjaan berpikir menyelami diri sendiri ini menjadi lebih menyenangkan karena aku “Menulis” yang tentu saja musti dibarengi sama alunan musik dan suasana rumah yang sepi.

Kegiatan berpikir ini membawaku ke pertanyaan: “Apakah aku tidak capable?”. Apakah aku benar-benar kekurangan soft skill untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan baruku ini. Kalau aku kembali memutar kehidupanku selama sekolah, aku memang tidak banyak melakukan kegiatan yang menunjang peningkatan soft skill ku. Menyesal? IYA. Tapi, semua bisa di mulai dari sekarang: Pelan-pelan.

Kehidupanku di Desa terkadang menyenangkan tapi juga ada sedihnya. Banyak sekali tuntutan kudu ini dan itu. Harus bisa ini dan itu. Ikut ini dan itu. Apalagi menyandang lulusan pesantren dan lulusan S1, bebannya lebih berat dua kali. Sedangkan aku menyadari bahwa diriku masih harus belajar banyak hal ditambah aku yang belum usai berurusan dengan diriku sendiri. Bahkan aku merasa kalau temanku lebih bisa banyak hal ketimbang aku. Memang manusia banyak sekali maunya. Tahun lalu aku sangat ingin segera menyelesaikan S1 ku karena tekanan yang begitu besar waktu itu. Akan tetapi, tahun ini aku bingung dengan diriku sendiri.

Lantas, harus kumulai dari mana?

Menjalani kehidupan di Desa terkadang banyak memberi tekanan dengan rentetan pertanyaan tetangga atau bahkan saudara: “Mau Jadi Apa Setelah Ini?” dan seputar pertanyaan dan nasihat lainnya yang beberapa membuat waktu sendirian bagian overthinking ku semakin menjadi-jadi. Ada 2 hal yang membuatku takut, lingkunganku yang toxic atau aku yang menjadi toxic untuk diriku sendiri karena tidak mau berusaha semaksimal mungkin, tidak mau mencoba berbagai macam kemungkinan, berbagai macam hal baru, hanya karena aku takut keluar dari diriku sendiri.

Oh… That’s the point: Aku tidak percaya dengan diriku sendiri.

Just because you understand why someone does the thing that they do, doesn’t mean it’s an acceptable way for them to treat you.

Perjalanan ini akan menjadi sangat panjang dan tulisan ini akan menjadi kenangan. Take a deep breath. Ada banyak hal yang gapapa untuk digapapain. Yang terpenting adalah jangan berhenti belajar, jangan berhenti berusaha, dan ada perumpamaan yang selalu kupegang ketika bertemu dengan manusia lain: “Jadilah Gelas yang Kosong” agar lebih menghargai orang lain.

Never forget, you’re the one who has been there for yourself. Dunia akan terus berputar pun dengan manusia akan selau berubah-ubah kelakuannya.

Wednesday, February 10, 2021

Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Jika ada saran dan masukan bisa langsung: write a response … “Teras Puan”

--

--

Teras Puan

Awkward dengan orang baru maupun orang yg sudah lama ga ketemu. Menulis karena cemas. Manusia INFJ-T